• Jelajahi

    Copyright © Laku Suluk
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Lipatan Suratan Takdir : Siapa Aku ?

    Syukur Riyadin
    Minggu, 24 April 2022, 23.05 WIB Last Updated 2022-04-26T22:44:33Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini


        Mengawali tulisan ini saya bercerita awal mula buku ini saya dapat. Bermula dari diskusi kecil dengan sahabat saya bernama Maghfur Huda. Kami membahas ngalor ngidul hingga sampai pada titik pembahasan tasawuf. Nilai-nilai tasawuf yang di kemas dengan cerita atau kisah-kisah seperti pewayangan tentunya memiliki nilai hiburan dan dakwah islam yang mampu mengajak masyarakat tanpa sadar. Dakwah Sunan Kalijaga menggunakan kesenian wayang dikemas dengan menarik sehingga masyarakat melirik dan tertarik. Ajaran islampun mudah diserap dari semua kalangan sehingga islam berkembang dan diterima oleh masyarakat.


                Huda menceritakan seorang penulis bernama Tri Wibowo BS. Dalam benak saya menyimpan sejuta rasa penasaran, Siapa penulis yang dimaksud ? Seperti apa karya-karya beliau ? Tak sabar aku melahap karya-karya beliau.  Banyak karya tulis yang dibukukan diantaranya; Divine Madness: Sketsa Biografi Sastrawan Gila (2009); Novel Gunung Makrifat: Memoar Pencari Tuhan (2009); dan Akulah Debu di Jalan al-Musthofa: Jejak-Jejak Awliya Allah (2015). Dari sekian banyak karya beliau salah satu yang dimiliki Huda yaitu buku yang berjudul “Sumpah Ramaparasu”[1] novel gubahan ini adalah karya ke 4.


    "Saya punya bukunya di lemari ?" ucapnya memotong pembicaraan. Tubuhnya yang besar berdiri dan melangkah menuju kamar mengambil sebuah buku yang dimaksudnya di dalam lemari. Huda menawarkan saya untuk membaca buku tersebut.


    Tanpa pikir panjang rasa terdalam  tak terbendung akhirnya meluap “Saya pinjam bukunya ya Hud ?" ucap saya dengan penuh penasaran. Singkat cerita Huda meminjamkan bukunya untuk saya, dengan semangat aku khatamkan bukunya kurun waktu 2 hari selesai. Dilain sisi menarik tentu terdapat nilai atau pesan yang terkandung kemudian melahirkan nasihat yang disampaikan penulis kepada pembaca. Sebagai ucapan terimakasih dan wujud rasa syukur ini hanya mampu aku berikan sebuah karya tulis sebagai hasil dari bacaan dan pemahaman yang saya dapat. Mengenai salah satu adab meminjam buku atau kitab, Hadrotusysyaikh Hasyim Asyari dalam Adabul Alim Walmutaallim (hal. 96) menjelaskan:


    وينبغي للمستعير ان يشكر للمعير ذلك ولا يطيل مقامه عنده من غير حاحة بل يرده عاجلا اذا قضى حاجته عنه


    Pantas bagi peminjam buku untuk berterima kasih pada pemilik buku. Juga tidak boleh mengulur-ulur buku tanpa kebutuhan yang jelas. Akan tetapi segera dikembalikan apabila kebutuhannya sudah usai.

    ***


    Novel ini mengisahkan kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Wiragni. Sosoknya yang rajin membaca karya sastra dan kitab-kitab suci dan ujaran-ujaran hikmah. Perlahan-lahan Prabu Wiragni kehilangan ketertarikannya pada urusan dunia. Dunia yang tidak terasa menyenangkan hati. Orang-orang datang dan pergi, lahir dan mati silih berganti. Di dunia ini aku telah mendapatkan banyak kesenangan, kemewahan, juga puja dan puji. Tetapi itu semua sekarang tiada berarti. Sang raja merasa sudah saatnya mandheg pandhita ratu, mengundurkan diri dari hal-hal keduniawian.


    JAMADAGNI, demikian nama yang dipilih oleh Wiragni untuk nama barunya sebagai orang petapa. Putranya bernama Rama Bargawa pendekar yang pandai memainkan bermacam-macam senjata dan kesaktian. Kegemarannya menggunakan kampak dan keterampilannya senjata inilah dia dikenal sebagai Ramaparasu, yang berarti “Rama Yang Bersenjata Kampak”.


    Dalam pertapaannya Jamadagni dikhianati oleh istrinya hingga terjadi pembunuhan[2]. Mengapa pengkhianatan itu sangat menyakitkan ? sebab sebelum ada pengkhianatan, selalu ada rasa percaya yang tulus. Kehidupan berjalan damai dan nyaman manakala saling peduli pada orang yang dicintai dan perhatian.


    Seluruh pikiran dan hati Resi Jamadgani kembali bersih dan tenang. Peristiwa itu memberinya pencerahan baru. Dia akan melakukan apa yang seharusnya dia lakukan untuk anak dan istrinya. Kini menyadari dengan jernih bahwa; keruhanian bukan hanya mementingkan keadaan batinnya sendiri, sebab kehendak-Nya kepada makhluknya adalah agar manusia selalu saling menyayangi, saling menolong, dan saling membahagiakan satu sama lain.


    Negeri yang damai dipimpin oleh pemimpin yang bijaksana tidak kejam terhadap rakyatnya sendiri tentu dambaan semua manusia. Begitu juga yang dirasakan oleh Ramaparasu yang bersumpah demi kesejahteraan manusia, demi martabat hidup kemanusiaan, dan demi kedamaian di jagat raya, akan membunuh semua kesatria yang ada di kolong langit. Amarah membara disebabkan karena kesatria yang rakus akan kekuasaan, kejam, tidak berkemanusiaan, dan menyengsarakan manusia hanya demi menuruti nafsu keinginan sendiri.


    ALENGKADIRAJA mengumumkan sayembara barangsiapa yang memiliki ilmu Sastra Jendra dan sakti akan dinikahkan dengan seorang putri yang cantik dan jelita yaitu Dewi Sukesi. Tidak semua orang memiliki ilmu Sastra Jendra yang sangat rahasia dan sulit dikuasai. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah ilmu rahasia yang berasal dari Sang Hiyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa). Karenanya ilmu ini hanya diberikan kepada orang pilihan.


    Resi Wisrawa datang ke Alengka bertujuan mewakili seorang raja, putranya sendiri Danaraja. Kedatangannya untuk memenuhi persyaratan mempersunting Dewi Sukesi putri raja Prabu Sumali, kemudian diterima dengan gembira.


    “Sebenarnya, ilmu ini tak cukup dijelaskan dengan kata-kata” kata Resi Wisrawa memulai pelajarannya.


    Berapa banyak nyawa melayang hanya karena perbedaan dalam memahami kata-kata, bahkan kata-kata kitab suci juga bisa menjadi sumber pertikaian. Dimana sesama muslim saling mengkafirkan dan membunuh. “Jika perbedaan adalah rahmat, kenapa manusia di negeri ini berebut untuk membencinya” ucap Gus Dur.


    Kata-kata bukan tujuan, melainkan sarana untuk membawa pendengar sampai pada tujuan di balik kata-kata. Apakah pemahaman yang berbeda-beda dapat menyatu ? Tentu, saat engkau menembus di balik dan mendengar suara yang mengucapkan kata-kata itu sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang engkau pikirkan dan tafsirkan menurut ilmu dan pengetahuan. Sastra Jenda dinamakan pula Sastra Cetha, ajaran yang jelas tentang kebenaran, kemuliaan, keagungan, dan kesempurnaan pengetahuan, pemahaman dan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia biasa. Manusia berpegang pada pokok ajaran dalam menjalankan hidup. Sebab dalam berjalan, kelengahan bisa menyebabkan celaka, tersandung, atau terperosok jurang.


    Baca juga: › OpiniPenyakit Hati Lebih Berbahaya Dari Virus Corona: Apakah ada Vaksinasinya ?


    Agar bisa selalu sadar dan ingat, eling lan waspada harus melalui berbagai upaya. Pertama, kita harus bertapa. Tapa bukan dalam arti kita masuk hutan atau menyepi dari keramaian. Intisari tapa yang sejati adalah pengendalian dan penguasaan diri. Tersebut dalam hadis rasulullah saw bersabda: Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran besar. Lantas sahabat bertanya, ”Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, ”jihad (memerangi) hawa nafsu.”


    Pertama-tama kita harus bertapa badan. Dhohir ini harus kita bersihkan, biasakan melakukan hal-hal yang baik, kita kendalikan, dan kita ajari untuk menjauhi perbuatan buruk dan jahat baik dalam perbuatan atau pikiran. Kedua, untuk itu kita perlu tapa hawa nafsu, mengendalikan sifat-sifat jahat, mensucikan batin kita, bersikap waspada terhadap bisikan-bisikan jahat dari hawa nafsu kita. Kewaspadaan ini penting, agar kita bisa menyadari kalau ada kesalahan dalam batin kita sehingga kita bisa lekas –lekas memohon ampunan kepada Gusti Ingkang Moho Agung, dan memohon diberi lebih banyak ilmu dan petunjuk agar jalan hidup kita sesuai dengan kehendak-Nya, dan diberi daya untuk menerima ketentuan-Nya tanpa menyalahkan Gusti kang murbeng dumadi. Dengan cara ini kita akan bergerak ke arah ketenangan, tak diombang-ambingkan oleh apapun atau siapapun juga.


    Selain pikiran, yang bisa diombang-ambingkan adalah hati, tempat Allah menitipkan sifat-sifat-Nya yang mulia. Keindahan dan kemuliaan hakiki adalah milik Allah SWT. Kita diberi sifat keindahan dan kemuliaan karena Dia yang berkehendak demikian agar kita melihat siapa di balik yang mencipatakan keindahaan itu. Bersikap waspada hawa nafsu akan mudah menyeret kita untuk merampas sifat lainnya, terutama kesombongan.


    Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi terjadi pergolakan dan gunjangan pada batin. Dua rasa kasih sayang yang meluap menjadi salah arah dan saling menyambar, bertaut dalam belitan nasfu birahi. Niat awal Resi Wisrawa mengajarkan Sastra Jenda dan mewakili putranya melamar Dewi Sukesi akhirnya pupus karena akal budi juga jiwa batinnya belum bersih.


    RAMAPARASU melangkah ke arah bebatuan. Dia duduk bersemedi hingga malam tiba.  Di kesunyian malam terdengar suara namun tidak berbunyi, hanya terdengar oleh batinnya. Kini dia paham bahwa Sastra Jendra adalah pedoman sejati perjalanan manusia, sebuah kitab yang ada dalam setiap jiwa manusia, menunggu untuk dibuka dan dibacakan pada diri sendiri sekaligus dijalankan dalam laku kehidupan lahir dan batin.


    Banyak sekali pesan tersirat didalam buku ini dimana kita belajar menuju kesejatian hidup agar terus sadar dan ingat, eling lan waspada. Apabila jiwa-jiwa yang tertipu oleh hasrat nafsu diri tak melihatnya karena mata batin tertutup oleh kabut diri yang palsu, telinga batin tertutup oleh suara-suara yang mendustai diri sendiri dan saripati rasa ruhani disiksa oleh dirinya yang tidak pernah mau tunduk pada ketentuan Gusti kang murbeng dumadi.


    Man ana ? Siapa Aku ? Seorang Hamba yang bersujud menyembah dan menerima apapun yang datang dari Sang Pencipta, selalu memandang bahwa pada intinya apapun ketentuan-Nya adalah kebaikan semata, sehingga kita segera mengembalikan pemberian-Nya kepada-Nya sebagai wujud syukur dan pengakuan kita sebagai hamba-Nya. Apabila kesejatian hidup dikembalikan kepada Sang Pemiliknya. Rindu, dendam atau amarah, cinta, dan birahi adalah BAIK, karena semua itu berasal dari-Nya. Dan apapun yang datang dari-Nya atau milik-Nya adalah Kebaikan semata yaitu rahmah (kasih sayang) Allah SWT kepada hambanya.

    Terus belajar, belajar, dan belajar…


    Baca juga: Membumikan Tasawuf Sosial dalam Kehidupan Modern



    [1] Tri Wibowo BS, Sumpah Ramaparasu,(Yogyakarta: Opus,2018).

    [2] Baca cerita selengkapnya penyebab Jamadagni membunuhan Dewi Renuka istrinya sendiri pada halaman 31-41.


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    NamaLabel

    +