Mengawali tulisan ini saya bercerita
awal mula buku ini saya dapat. Bermula dari diskusi kecil dengan sahabat saya
bernama Maghfur Huda. Kami membahas ngalor ngidul hingga sampai pada
titik pembahasan tasawuf. Nilai-nilai tasawuf yang di kemas dengan cerita atau
kisah-kisah seperti pewayangan tentunya memiliki nilai hiburan dan dakwah islam
yang mampu mengajak masyarakat tanpa sadar. Dakwah Sunan Kalijaga menggunakan
kesenian wayang dikemas dengan menarik sehingga masyarakat melirik dan tertarik.
Ajaran islampun mudah diserap dari semua kalangan sehingga islam berkembang dan
diterima oleh masyarakat.
Huda menceritakan seorang penulis bernama Tri Wibowo BS. Dalam benak saya menyimpan sejuta rasa penasaran, Siapa penulis yang dimaksud ? Seperti apa karya-karya beliau ? Tak sabar aku melahap karya-karya beliau. Banyak karya tulis yang dibukukan diantaranya; Divine Madness: Sketsa Biografi Sastrawan Gila (2009); Novel Gunung Makrifat: Memoar Pencari Tuhan (2009); dan Akulah Debu di Jalan al-Musthofa: Jejak-Jejak Awliya Allah (2015). Dari sekian banyak karya beliau salah satu yang dimiliki Huda yaitu buku yang berjudul “Sumpah Ramaparasu”[1] novel gubahan ini adalah karya ke 4.
"Saya punya bukunya di lemari ?" ucapnya memotong pembicaraan. Tubuhnya yang besar berdiri dan melangkah menuju kamar mengambil sebuah buku yang dimaksudnya di dalam lemari. Huda menawarkan saya untuk membaca buku
tersebut.
Tanpa
pikir panjang rasa terdalam tak terbendung akhirnya meluap “Saya pinjam
bukunya ya Hud ?" ucap saya dengan penuh penasaran. Singkat cerita Huda meminjamkan bukunya untuk saya, dengan
semangat aku khatamkan bukunya kurun waktu 2 hari selesai. Dilain sisi menarik tentu terdapat nilai atau pesan yang terkandung kemudian melahirkan nasihat yang disampaikan penulis kepada pembaca. Sebagai ucapan
terimakasih dan wujud rasa syukur ini hanya mampu aku berikan sebuah karya
tulis sebagai hasil dari bacaan dan pemahaman yang saya dapat. Mengenai salah satu adab meminjam buku atau kitab, Hadrotusysyaikh Hasyim Asyari dalam Adabul Alim Walmutaallim (hal. 96) menjelaskan:
وينبغي للمستعير ان يشكر للمعير ذلك ولا يطيل مقامه عنده من غير حاحة بل يرده عاجلا اذا قضى حاجته عنه
Pantas bagi peminjam buku untuk berterima kasih pada pemilik buku. Juga tidak boleh mengulur-ulur buku tanpa kebutuhan yang jelas. Akan tetapi segera dikembalikan apabila kebutuhannya sudah usai.
***
Novel ini mengisahkan kerajaan
yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Wiragni. Sosoknya yang rajin
membaca karya sastra dan kitab-kitab suci dan ujaran-ujaran hikmah.
Perlahan-lahan Prabu Wiragni kehilangan ketertarikannya pada urusan dunia. Dunia
yang tidak terasa menyenangkan hati. Orang-orang datang dan pergi, lahir dan
mati silih berganti. Di dunia ini aku telah mendapatkan banyak kesenangan,
kemewahan, juga puja dan puji. Tetapi itu semua sekarang tiada berarti. Sang
raja merasa sudah saatnya mandheg pandhita ratu, mengundurkan diri dari hal-hal
keduniawian.
JAMADAGNI, demikian nama
yang dipilih oleh Wiragni untuk nama barunya sebagai orang petapa. Putranya
bernama Rama Bargawa pendekar yang pandai memainkan bermacam-macam senjata dan
kesaktian. Kegemarannya menggunakan kampak dan keterampilannya senjata inilah
dia dikenal sebagai Ramaparasu, yang berarti “Rama Yang Bersenjata Kampak”.
Dalam pertapaannya
Jamadagni dikhianati oleh istrinya hingga terjadi pembunuhan[2].
Mengapa pengkhianatan itu sangat menyakitkan ? sebab sebelum ada pengkhianatan,
selalu ada rasa percaya yang tulus. Kehidupan berjalan damai dan nyaman
manakala saling peduli pada orang yang dicintai dan perhatian.
Seluruh pikiran dan hati
Resi Jamadgani kembali bersih dan tenang. Peristiwa itu memberinya pencerahan
baru. Dia akan melakukan apa yang seharusnya dia lakukan untuk anak dan
istrinya. Kini menyadari dengan jernih bahwa; keruhanian bukan hanya
mementingkan keadaan batinnya sendiri, sebab kehendak-Nya kepada makhluknya
adalah agar manusia selalu saling menyayangi, saling menolong, dan saling
membahagiakan satu sama lain.
Negeri yang damai dipimpin
oleh pemimpin yang bijaksana tidak kejam terhadap rakyatnya sendiri tentu
dambaan semua manusia. Begitu juga yang dirasakan oleh Ramaparasu yang
bersumpah demi kesejahteraan manusia, demi martabat hidup kemanusiaan, dan demi
kedamaian di jagat raya, akan membunuh semua kesatria yang ada di kolong
langit. Amarah membara disebabkan karena kesatria yang rakus akan kekuasaan,
kejam, tidak berkemanusiaan, dan menyengsarakan manusia hanya demi menuruti
nafsu keinginan sendiri.
ALENGKADIRAJA mengumumkan
sayembara barangsiapa yang memiliki ilmu Sastra Jendra dan sakti akan
dinikahkan dengan seorang putri yang cantik dan jelita yaitu Dewi Sukesi. Tidak
semua orang memiliki ilmu Sastra Jendra yang sangat rahasia dan sulit dikuasai.
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah ilmu rahasia yang berasal
dari Sang Hiyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa). Karenanya ilmu ini hanya diberikan
kepada orang pilihan.
Resi Wisrawa datang ke
Alengka bertujuan mewakili seorang raja, putranya sendiri Danaraja. Kedatangannya
untuk memenuhi persyaratan mempersunting Dewi Sukesi putri raja Prabu Sumali,
kemudian diterima dengan gembira.
“Sebenarnya, ilmu ini tak
cukup dijelaskan dengan kata-kata” kata Resi Wisrawa memulai pelajarannya.
Berapa banyak nyawa
melayang hanya karena perbedaan dalam memahami kata-kata, bahkan kata-kata
kitab suci juga bisa menjadi sumber pertikaian. Dimana sesama muslim saling
mengkafirkan dan membunuh. “Jika perbedaan adalah rahmat, kenapa manusia di
negeri ini berebut untuk membencinya” ucap Gus Dur.
Kata-kata bukan tujuan,
melainkan sarana untuk membawa pendengar sampai pada tujuan di balik kata-kata.
Apakah pemahaman yang berbeda-beda dapat menyatu ? Tentu, saat engkau menembus
di balik dan mendengar suara yang mengucapkan kata-kata itu sebagaimana adanya,
bukan sebagaimana yang engkau pikirkan dan tafsirkan menurut ilmu dan
pengetahuan. Sastra Jenda dinamakan pula Sastra Cetha, ajaran yang jelas
tentang kebenaran, kemuliaan, keagungan, dan kesempurnaan pengetahuan,
pemahaman dan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia biasa.
Manusia berpegang pada pokok ajaran dalam menjalankan hidup. Sebab dalam
berjalan, kelengahan bisa menyebabkan celaka, tersandung, atau terperosok
jurang.
Baca juga: › OpiniPenyakit Hati Lebih Berbahaya Dari Virus Corona: Apakah ada Vaksinasinya ?
Agar bisa selalu sadar
dan ingat, eling lan waspada harus melalui berbagai upaya. Pertama, kita
harus bertapa. Tapa bukan dalam arti kita masuk hutan atau menyepi dari
keramaian. Intisari tapa yang sejati adalah pengendalian dan penguasaan diri. Tersebut
dalam hadis rasulullah saw bersabda: Kalian telah pulang dari sebuah
pertempuran kecil menuju pertempuran besar. Lantas sahabat bertanya, ”Apakah
pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, ”jihad
(memerangi) hawa nafsu.”
Pertama-tama kita harus bertapa
badan. Dhohir ini harus kita bersihkan, biasakan melakukan hal-hal yang baik,
kita kendalikan, dan kita ajari untuk menjauhi perbuatan buruk dan jahat baik
dalam perbuatan atau pikiran. Kedua, untuk itu kita perlu tapa hawa nafsu,
mengendalikan sifat-sifat jahat, mensucikan batin kita, bersikap waspada
terhadap bisikan-bisikan jahat dari hawa nafsu kita. Kewaspadaan ini penting,
agar kita bisa menyadari kalau ada kesalahan dalam batin kita sehingga kita
bisa lekas –lekas memohon ampunan kepada Gusti Ingkang Moho Agung, dan memohon
diberi lebih banyak ilmu dan petunjuk agar jalan hidup kita sesuai dengan
kehendak-Nya, dan diberi daya untuk menerima ketentuan-Nya tanpa menyalahkan
Gusti kang murbeng dumadi. Dengan cara ini kita akan bergerak ke arah ketenangan, tak
diombang-ambingkan oleh apapun atau siapapun juga.
Selain pikiran, yang bisa
diombang-ambingkan adalah hati, tempat Allah menitipkan sifat-sifat-Nya yang
mulia. Keindahan dan kemuliaan hakiki adalah milik Allah SWT. Kita diberi sifat
keindahan dan kemuliaan karena Dia yang berkehendak demikian agar kita melihat
siapa di balik yang mencipatakan keindahaan itu. Bersikap waspada hawa nafsu
akan mudah menyeret kita untuk merampas sifat lainnya, terutama kesombongan.
Resi Wisrawa dan Dewi
Sukesi terjadi pergolakan dan gunjangan pada batin. Dua rasa kasih sayang yang
meluap menjadi salah arah dan saling menyambar, bertaut dalam belitan nasfu
birahi. Niat awal Resi Wisrawa mengajarkan Sastra Jenda dan mewakili putranya
melamar Dewi Sukesi akhirnya pupus karena akal budi juga jiwa batinnya belum
bersih.
RAMAPARASU melangkah ke
arah bebatuan. Dia duduk bersemedi hingga malam tiba. Di kesunyian malam terdengar suara namun tidak
berbunyi, hanya terdengar oleh batinnya. Kini dia paham bahwa Sastra Jendra
adalah pedoman sejati perjalanan manusia, sebuah kitab yang ada dalam setiap
jiwa manusia, menunggu untuk dibuka dan dibacakan pada diri sendiri sekaligus
dijalankan dalam laku kehidupan lahir dan batin.
Banyak sekali pesan tersirat
didalam buku ini dimana kita belajar menuju kesejatian hidup agar terus sadar
dan ingat, eling lan waspada. Apabila jiwa-jiwa yang tertipu oleh hasrat
nafsu diri tak melihatnya karena mata batin tertutup oleh kabut diri yang palsu,
telinga batin tertutup oleh suara-suara yang mendustai diri sendiri dan saripati
rasa ruhani disiksa oleh dirinya yang tidak pernah mau tunduk pada ketentuan
Gusti kang murbeng dumadi.
Man ana ? Siapa Aku ? Seorang Hamba yang bersujud menyembah dan menerima apapun yang datang dari Sang Pencipta, selalu memandang bahwa pada intinya apapun ketentuan-Nya adalah kebaikan semata, sehingga kita segera mengembalikan pemberian-Nya kepada-Nya sebagai wujud syukur dan pengakuan kita sebagai hamba-Nya. Apabila kesejatian hidup dikembalikan kepada Sang Pemiliknya. Rindu, dendam atau amarah, cinta, dan birahi adalah BAIK, karena semua itu berasal dari-Nya. Dan apapun yang datang dari-Nya atau milik-Nya adalah Kebaikan semata yaitu rahmah (kasih sayang) Allah SWT kepada hambanya.
Terus belajar, belajar,
dan belajar…
Baca juga: Membumikan Tasawuf Sosial dalam Kehidupan Modern
[1]
Tri Wibowo BS, Sumpah Ramaparasu,(Yogyakarta: Opus,2018).
[2]
Baca cerita selengkapnya penyebab Jamadagni membunuhan Dewi Renuka istrinya
sendiri pada halaman 31-41.