Mungkin sedikit aneh dan bahkan asing ditelinga kalian ketika mendengar bisnis kaum sufi. Cenderung kaum sufi dianggap terbelakang seringkali dikesankan dengan kehidupan spiritual, esoterik, ruhaniah, dan jauh dari hal-hal material, ekonomi, dan sosial.
Sebelum membahas lebih jauh, mula-mula penulis tertarik dengan pembahasan salah satu shohibah yang menyatakan sepanjang dia belajar mata kuliah tasawuf belum pernah mendengar bisnis kaum sufi ? Akhirnya saya tertarik untuk menulis dengan keterbatasan pemahaman, saya memberanikan diri untuk menulis.
Baca juga: Nuansa Tasawuf Sosial dalam Pemikiran Abu Thalib al-Makki
Siapakah sufi itu?
Sufi adalah penyebutan untuk orang-orang yang mendalami ilmu tasawuf. Secara umum istilah sufi ada yang mengaitkannya dengan ashhabus suffah atau istilah shuf, shafa dan sophia.
Terdapat tahapan-tahapan dalam ilmu tasawuf salah satunya maqam Zuhud adalah kosongnya hati dari sesuatu yang tidak ada padanya (Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 116). Syaikh Dhiya’uddin Ahmad Musthafa al-Kamasykhânawi mendefinisikan zuhud menjadi tiga golongan.
وَالزُّهْدُ وَهُوَ عَلىَ ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: فَزُهْدُ الْعَامِّ تَرْكُ الْحَرَامِ، وَزُهْدُ الْخَاصِّ تَرْكُ الْفُضُوْلِ مِنَ الْحَلاَلِ، وَزُهْدُ اْلأَخَصِّ تَرْكُ مَا يُشْغِلُهُ عَنِ اللهِ تَعَالَى.
Zuhud ada tiga macam. Pertama, zuhud orang ‘awâm yaitu dengan meninggalkan yang haram. Kedua, zuhud orang khâsh, yakni meninggalkan berlebih-lebihan dalam perkara halal. Ketiga, zuhud orang akhâsh yaitu dengan meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkan (memalingkan) dirinya dari Allâh SWT, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).
Tidak mudah tergiur dengan kenikmatan dan gemerlap dunia, akan menjadikan diri kita lebih nyaman, sehingga diri tak tersiksa dan hati pun menjadi tenang. Sebaliknya, menuruti keinginan nafsu dan mencintai seluruh kesenangan duniawi menjadikan diri semakin tersiksa, hati menjadi tidak tenang karena takut kenikmatan dunia yang dimiliki menjadi sirna.
Zuhud pada hakikatnya merupakan sikap tidak bergantung kepada dunia. Jadi kata kuncinya “tidak bergantung kepada dunia” ya… bukan sikap meninggalkan dunia sepenuhnya. Zuhud adalah mengendalikan dunia dan tidak dikendalikan oleh dunia.
Nah, jika dengan pemaham zuhud yang seperti ini, maka tidak heran jika kita akan menemukan fakta bahwa ada beberapa sufi yang kaya raya dan tetap hidup dalam kenyamanan duniawi antara lain Syekh Abdullah bin Mubarak, Syekh Abdul Qadir Jaelani, dan Syekh Abu Hasan As-Syadzili. Meskipun demikian mereka tidak pernah lalai, menggunakan secukupnya dan menyedekahkan sisanya.
Buku yang berjudul Bisnis Kaum Sufi: Studi Tarekat Dalam Masyarakat Industri, merupakan hasil riset beliau Bapak Radjasa Mu'tashim (penulis Buku "Bisnis Kaum Sufi") yang dibedah bersama Traheka Erdias Bimanatya Dosen FEB UGM (CEO Kopi Embung & Farm) dan Taufiq Abdurrahman (CEO Sogan Batik, Pengamal Tarekat Naqsabandi Haqqoni).
Hasil riset tersebut penulis menjelaskan ketertarikan meneliti di Kudus, karena sebelumnya sudah ada peneliti dari barat yang menyatakan dalam penemuannya bahwa orang-orang islam di Kudus kalah dengan orang-orang non-muslim karena etos kerja dan pengetahuannya rendah.
Kemudian mendapat kesempatan penelitian terkait tarekat, penulis tertarik untuk meneliti di Kudus kulon yang menganut tarekat syadziliyah. Perkembangan tarekat syadziliyah di Kudus kulon dikembangkan oleh tokoh muda yang hanya tamat SD namun luar biasa pengetahuannya luas dalam bidang ekonomi, politik, budaya, dan agama menguasai.
Alasan masyarakat Kudus kulon memilih syadziliyah dari yang lain karena lebih responsif terhadap persoalan-persoalan konkrit. Dalam masyarakat industri dan perdagangan seperti itu tidak cocok diberi amalan-amalan yang berat-berat dan ketat, ini akan menggangu waktunya dalam usaha. Maka amalan syadziliyah itu ringan dan kapan saja dilakukan.
Ternyata apa yang diteliti oleh Radjasa Mu'tashim berbeda jauh dengan LN Cassel. LN Cassel melihat bahwa orang-orang satri hanya bekerja sebagai industri rokok. Sementara di Kudus kulon tidak ada yang bekerja di pabrik rokok. Mereka justru bekerja sebagai entrepreneur (home industri) mungkin informannya berbeda.
Penulis menduga LN Cassel menemukan kaum muslim yang bukan penganut tarekat lebih kepada kaum abangan. Disana tidak melihat kaum tarekat menjadi buruh rokok, bahkan ada yang memiliki pabrik rokok sendiri. Jadi semua adalah memegang industri sendiri dan mandiri.
Baca juga: Ibnu Atha'illah as-Sakandari: Orang 'Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah
Beragama kalau tanpa epistemologi burhani akan skripturalis, apabila burhani saja tanpa bayani akan tersesat. Teknologi tidak bermanfaat bagi kehidupan justru merusak kehidupan. Orang semakin cemas dengan perkembangan teknologi bukan semakin bahagia.
Dalam islam, terdapat epistemologi irfani yang menjaga moralitas manusia, tidak semua orang memperolehnya karena irfani berdasarkan pengalaman individual. Tanpa epistemologi irfani kehidupan manusia terasa kering. Spiritual individual ini yang kongkritnya tasawuf dan tarekat.
Wallahu a'lam