Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu Thalib al-Makki al-Harits al-Maliki yang selanjutnya akan disebut sebagai al-Makki. Ibnu Khaldun (sosiolog Muslim) mencatat dalam Wafayat al-A’yan bahwa al-Makki berasal dari Jabal yang merupakan sebuah desa tidak jauh dari Baghdad, Irak.
Hampir semua sumber tidak ada yang menyebutkan kapan
al-Makki dilahirkan, namun disebutkan bahwa beliau tumbuh di Makkah sekitar
abad ke-10. Al-Makki wafat di Kota Baghdad pada tahun 386 H/996 M. Dari data
tersebut dapat dipastikan bahwa al-Makki adalah salah satu orang yang terlibat
dalam awal mula kemunculan tasawuf.
Disebutkan demikian, karena pada masanyalah mulai
dikembangkannya pengalaman beragama menjadi sebuah kerangka teoritis yang
sistematis dan tersusun menjadi sebuah keniscayaan. Hal itulah yang dilakukan
generasi sufi awal sejak Abu Abdullah al-Harits al Muhasibi (w. 857 M). Setelah
itu dilanjutkan oleh tiga serangkai yang terdiri dari Abu Nashr al-Sarraj (w.
988 M), al-Kalabadzi (w. 994 M), dan al-Makki (w. 996 M).
Sebutan populer al-Makki dinisbatkan karena beliau pernah
tinggal di Makkah sejak usia belia. Selain itu, nisbat al-Harits dan al-Maliki
adalah karena beliau berasal dari suku Harits dan pengikut madzhab Imam Malik. Kehausan
akan ilmu pengetahuan dan pencarian guru sufi lah yang membuat al-Makki pergi
meninggalkan tempat kelahirannya.
Makkah (yang nantinya menjadi nama daerah yang dinisbatkan
kepadanya) menjadi tujuan utamanya. Bukan tanpa alasan, Makkah adalah tempat
pertama perkembangan agama Islam. Namun tidak hanya itu, Makkah menjadi tempat
yang sangat kaya akan para ulama dan ilmu pengetahuan.
Di antara guru-guru al-Makki adalah Ali bin Ahmad bin
al-Misri (w. 944 M), Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-Jurjani al-Mufid (w. 958
M), dan Abul Hasan Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Shaghir. Al-Dzahabi (w. 1348
M) melalui salah satu maha karyanya al0Ibar fi Khabar man Ghabar menuturkan
bahwa Abul Hasan (Syaikh Tarekat Salimiyyah) adalah guru al-Makki dalam bidang
ilmu tasawuf.
Sekembalinya dari kota Makkah menuju tempat kelahirannya ke
kota Baghdad, al-Makki dipenuhi oleh rasa kekecewaan atas perilaku orang-orang
di sekitarnya. Patut dipahami bahwa pada waktu tersebut, Baghdad adalah ibukota
kekuasaan sehingga sebanding lurus dengan kemerosotan moral yang terjadi.
Logika-logika materialis merebak di kalangan masyarakat sehingga menghancurkan
peradaban moral.
Kekecewaannya tersebut berujung pada ketegangan sosial dan pada gilirannya berakibat pada peminggiran dirinya dari pergaulan dan kehidupan masyarakat. Beliau tidak terima jika melihat kemewahan atau bentuk-bentuk lain dari hedonisme yang menyeleweng. Menurutnya kehidupan di Baghdad yang diwarnai perlombaan meraih kemewahan, kesenangan dan kepuasan duniawi sudah tidak sejalan dengan agama Islam dan tradisi kenabian.
Dalam keadaan demikianlah, al-Makki merenung dan terpanggil
untuk melakukan kerja nyata untuk mengubah kehidupan sosial masyarakat. Hal
tersebut lebih baik menurutnya daripada hanya kekecewaan yang tanpa mencari
solusi. Al-Makki pun mulai menggoreskan penanya untuk menunagkan pokok-pokok
pemikirannya ke dalam sebuah buku yang ketika selesai diberi judul Qut
al-Qulub.
Oleh karena itu, jika dilihat dari latar belakang
penulisannya kitab Qut al-Qulub merupakan sebuah kritik terhadap
perilaku orang-orang di sekitarnya. Dalam pandangan beliau, konsep ketuhanan,
spiritual, jiwa, dan syariat (dengan kata lain agama) tidak hanya berkaitan
dengan Allah Swt. semata tetapi juga dengan masyarakat. Semua itu menandakan
“visi sosiologis” tentang keharmonisan sosial yang ia dambakan.
Untuk mencapai peradaban masyarakat yang didambakannya,
dalam kitab Qut al-Qulub al-Makki mengajukan teori tentang pembangunan
keluarga. Keluarga merupakan bentuk terkecil dari sebuah masyarakat, yang oleh
karenanya membangun keluarga sama halnya dengan membangun masyarakat.
Dalam membangun keluarga yang ideal, menurut al-Makki harus
dimulai dengan membangun kepribadian seorang istri. Oleh karenanya, beliau
membagi tipe istri menjadi tiga, yaitu istri egois (al-annanah), istri
pengkhianat (al-khannanah), dan istri pengalah atau pemberi (al-mannanah).
Tipe istri yang ketigalah yang dapat menjadi penopang keluarga harmonis,
sedangkan dua yang disebutkan pertama adalah perusak dan penghancur.
Nampaknya, hal itu juga sejalan dengan hadits Nabi Muhammad
Saw. “Perempuan adalah tiangnya bangsa, jika para perempuan baik maka baiklah bangsa, dan jika para
perempuan buruk maka buruklah sebuah bangsa.” Dari seorang perempuan yang
baiklah akan lahir generasi-generasi yang baik pula. Dengan begitu masyarakat
akan terbangun menjadi masyarakat madani yang di idam-idamkan.
Bukan hanya itu saja, orientasi tasawuf sosial al-Makki juga
tampak pada pembahasan tentang persaudaraan. Menurutnya persaudaraanlah
yang dapat dijadikan landasan bagi keharmonisan dan kemajuan sosial sehingga
kemerosotan moral dapat teratasi. Masyarakat merupakan satu kesatuan sosial
yang seharusnya saling membantu dan memberi, bukan egoisme “ini milikku dan itu
milikmu.”
Yang menarik dalam pemikiran al-Makki bukan menekankan pada infrastruktur
yang dapat membangun sebuah masyarakat, melainkan pada suprastruktur yang
merupakan landasan dan pondasi sistem sosial. Suprastruktur di sini adalah
dengan melibatkan Allah Swt. dalam membangun tatanan sosial. Oleh karenanya,
dengan gagasan-gagasan tasawuf dapat menjadi harapan terbentuknya masyarakat
yang ideal.
Dengan demikian, konsep persaudaraan yang ditawarkan oleh
al-Makki adalah persaudaraan di jalan Allah Swt. Kebersamaan dan kekompakan
dalam membangun masyarakat yang didasari oleh cinta kepada sang pencipta. Di
atas segalanya, persaudaraan itu harus mewujud dalam bentuk saling mencitai
agar komitmen bersama dalam membesarkan agama dan menegakkan keadilan dapat terbangun.
Dengan mengutip sebuah hadits Nabi Saw., al-Makki
mengajarkan bahwa cinta kepada sesama melandasi keimanan kepada Allah Swt.
Dikatakan demikian karena esensi Allah Swt. adalah cinta. Keimanan itu sendiri
adalah cinta, atau perisainya, buah dari cinta manusia keada Tuhannya. Karena
itu, mencintai sesama secara esensial juga berarti mencintai Allah Swt. dan
Nabi-Nya. Hal ini sering ditegaskan al-Makki melalui penjabarannya atas sebuah
Nabi yang mengatakan:
“Tuhan dan Nabi-Nya harus lebih dicintai oleh orang-orang
beriman daripada apapun.”
Walau cinta yang ditekankan di sini adalah cinta kepada
Allah Swt., al-Makki juga memikirkan cinta kepada sesama sebagai landasan
kehidupan sosial bermasyarakat. Oleh karenanya, beliau mengusung “Rukun Islam”
dalam bidang sosial yang terdiri dari empat tiang yaitu cinta, kejujuran,
keyakinan, dan ridha.
Dari penjabaran di atas, nampaklah bahwa tasawuf bukan hanya
sesuatu di sebuah menara gading yang tinggi sehingga jauh dari kehidupan
masyarakat. Justru tasawuf hidup di tengah-tengah masyarakat untuk membangun
peradaban. Seperti Nabi Muhammad Saw. yang turun dari Mi’raj nya untuk
membangun peradaban Islam.