• Jelajahi

    Copyright © Laku Suluk
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Nuansa Tasawuf Sosial dalam Pemikiran Abu Thalib al-Makki

    muchamad mufid
    Selasa, 22 Desember 2020, 09.11 WIB Last Updated 2020-12-23T11:21:27Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini



    Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu Thalib al-Makki al-Harits al-Maliki yang selanjutnya akan disebut sebagai al-Makki. Ibnu Khaldun (sosiolog Muslim) mencatat dalam Wafayat al-A’yan bahwa al-Makki berasal dari Jabal yang merupakan sebuah desa tidak jauh dari Baghdad, Irak.


    Hampir semua sumber tidak ada yang menyebutkan kapan al-Makki dilahirkan, namun disebutkan bahwa beliau tumbuh di Makkah sekitar abad ke-10. Al-Makki wafat di Kota Baghdad pada tahun 386 H/996 M. Dari data tersebut dapat dipastikan bahwa al-Makki adalah salah satu orang yang terlibat dalam awal mula kemunculan tasawuf.


    Disebutkan demikian, karena pada masanyalah mulai dikembangkannya pengalaman beragama menjadi sebuah kerangka teoritis yang sistematis dan tersusun menjadi sebuah keniscayaan. Hal itulah yang dilakukan generasi sufi awal sejak Abu Abdullah al-Harits al Muhasibi (w. 857 M). Setelah itu dilanjutkan oleh tiga serangkai yang terdiri dari Abu Nashr al-Sarraj (w. 988 M), al-Kalabadzi (w. 994 M), dan al-Makki (w. 996 M).


    Sebutan populer al-Makki dinisbatkan karena beliau pernah tinggal di Makkah sejak usia belia. Selain itu, nisbat al-Harits dan al-Maliki adalah karena beliau berasal dari suku Harits dan pengikut madzhab Imam Malik. Kehausan akan ilmu pengetahuan dan pencarian guru sufi lah yang membuat al-Makki pergi meninggalkan tempat kelahirannya.


    Makkah (yang nantinya menjadi nama daerah yang dinisbatkan kepadanya) menjadi tujuan utamanya. Bukan tanpa alasan, Makkah adalah tempat pertama perkembangan agama Islam. Namun tidak hanya itu, Makkah menjadi tempat yang sangat kaya akan para ulama dan ilmu pengetahuan.


    Di antara guru-guru al-Makki adalah Ali bin Ahmad bin al-Misri (w. 944 M), Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-Jurjani al-Mufid (w. 958 M), dan Abul Hasan Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Shaghir. Al-Dzahabi (w. 1348 M) melalui salah satu maha karyanya al0Ibar fi Khabar man Ghabar menuturkan bahwa Abul Hasan (Syaikh Tarekat Salimiyyah) adalah guru al-Makki dalam bidang ilmu tasawuf.


    Sekembalinya dari kota Makkah menuju tempat kelahirannya ke kota Baghdad, al-Makki dipenuhi oleh rasa kekecewaan atas perilaku orang-orang di sekitarnya. Patut dipahami bahwa pada waktu tersebut, Baghdad adalah ibukota kekuasaan sehingga sebanding lurus dengan kemerosotan moral yang terjadi. Logika-logika materialis merebak di kalangan masyarakat sehingga menghancurkan peradaban moral.


    Kekecewaannya tersebut berujung pada ketegangan sosial dan pada gilirannya berakibat pada peminggiran dirinya dari pergaulan dan kehidupan masyarakat. Beliau tidak terima jika melihat kemewahan atau bentuk-bentuk lain dari hedonisme yang menyeleweng. Menurutnya kehidupan di Baghdad yang diwarnai perlombaan meraih kemewahan, kesenangan dan kepuasan duniawi sudah tidak sejalan dengan agama Islam dan tradisi kenabian.


    Dalam keadaan demikianlah, al-Makki merenung dan terpanggil untuk melakukan kerja nyata untuk mengubah kehidupan sosial masyarakat. Hal tersebut lebih baik menurutnya daripada hanya kekecewaan yang tanpa mencari solusi. Al-Makki pun mulai menggoreskan penanya untuk menunagkan pokok-pokok pemikirannya ke dalam sebuah buku yang ketika selesai diberi judul Qut al-Qulub.


    Oleh karena itu, jika dilihat dari latar belakang penulisannya kitab Qut al-Qulub merupakan sebuah kritik terhadap perilaku orang-orang di sekitarnya. Dalam pandangan beliau, konsep ketuhanan, spiritual, jiwa, dan syariat (dengan kata lain agama) tidak hanya berkaitan dengan Allah Swt. semata tetapi juga dengan masyarakat. Semua itu menandakan “visi sosiologis” tentang keharmonisan sosial yang ia dambakan.


    Untuk mencapai peradaban masyarakat yang didambakannya, dalam kitab Qut al-Qulub al-Makki mengajukan teori tentang pembangunan keluarga. Keluarga merupakan bentuk terkecil dari sebuah masyarakat, yang oleh karenanya membangun keluarga sama halnya dengan membangun masyarakat.


    Dalam membangun keluarga yang ideal, menurut al-Makki harus dimulai dengan membangun kepribadian seorang istri. Oleh karenanya, beliau membagi tipe istri menjadi tiga, yaitu istri egois (al-annanah), istri pengkhianat (al-khannanah), dan istri pengalah atau pemberi (al-mannanah). Tipe istri yang ketigalah yang dapat menjadi penopang keluarga harmonis, sedangkan dua yang disebutkan pertama adalah perusak dan penghancur.


    Nampaknya, hal itu juga sejalan dengan hadits Nabi Muhammad Saw. “Perempuan adalah tiangnya bangsa, jika para perempuan  baik maka baiklah bangsa, dan jika para perempuan buruk maka buruklah sebuah bangsa.” Dari seorang perempuan yang baiklah akan lahir generasi-generasi yang baik pula. Dengan begitu masyarakat akan terbangun menjadi masyarakat madani yang di idam-idamkan.


    Bukan hanya itu saja, orientasi tasawuf sosial al-Makki juga tampak pada pembahasan tentang persaudaraan. Menurutnya persaudaraanlah yang dapat dijadikan landasan bagi keharmonisan dan kemajuan sosial sehingga kemerosotan moral dapat teratasi. Masyarakat merupakan satu kesatuan sosial yang seharusnya saling membantu dan memberi, bukan egoisme “ini milikku dan itu milikmu.”


    Yang menarik dalam pemikiran al-Makki bukan menekankan pada infrastruktur yang dapat membangun sebuah masyarakat, melainkan pada suprastruktur yang merupakan landasan dan pondasi sistem sosial. Suprastruktur di sini adalah dengan melibatkan Allah Swt. dalam membangun tatanan sosial. Oleh karenanya, dengan gagasan-gagasan tasawuf dapat menjadi harapan terbentuknya masyarakat yang ideal.


    Dengan demikian, konsep persaudaraan yang ditawarkan oleh al-Makki adalah persaudaraan di jalan Allah Swt. Kebersamaan dan kekompakan dalam membangun masyarakat yang didasari oleh cinta kepada sang pencipta. Di atas segalanya, persaudaraan itu harus mewujud dalam bentuk saling mencitai agar komitmen bersama dalam membesarkan agama dan menegakkan keadilan dapat terbangun.


    Dengan mengutip sebuah hadits Nabi Saw., al-Makki mengajarkan bahwa cinta kepada sesama melandasi keimanan kepada Allah Swt. Dikatakan demikian karena esensi Allah Swt. adalah cinta. Keimanan itu sendiri adalah cinta, atau perisainya, buah dari cinta manusia keada Tuhannya. Karena itu, mencintai sesama secara esensial juga berarti mencintai Allah Swt. dan Nabi-Nya. Hal ini sering ditegaskan al-Makki melalui penjabarannya atas sebuah Nabi yang mengatakan:


    Tuhan dan Nabi-Nya harus lebih dicintai oleh orang-orang beriman daripada apapun.”


    Walau cinta yang ditekankan di sini adalah cinta kepada Allah Swt., al-Makki juga memikirkan cinta kepada sesama sebagai landasan kehidupan sosial bermasyarakat. Oleh karenanya, beliau mengusung “Rukun Islam” dalam bidang sosial yang terdiri dari empat tiang yaitu cinta, kejujuran, keyakinan, dan ridha.


    Dari penjabaran di atas, nampaklah bahwa tasawuf bukan hanya sesuatu di sebuah menara gading yang tinggi sehingga jauh dari kehidupan masyarakat. Justru tasawuf hidup di tengah-tengah masyarakat untuk membangun peradaban. Seperti Nabi Muhammad Saw. yang turun dari Mi’raj nya untuk membangun peradaban Islam.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    NamaLabel

    +