Orang banyak mengenal Dzun Nun al Mishri sebagai seorang sufi yang agung. Suatu ketika, ia bermalam di rumah gurunya yang bernama imam Syuqran al-Qairawani selama tujuh puluh hari. Syuqran al-Qairawani dikenal sebagai sosok ahli ibadah, orang zuhud yang sebenarnya, dan shalih lahir dan batin.
Setelah malam ke tujuh, Dzun Nun al Mishri meminta nasihat dan pelajaran terakhir kepada imam Syuqran al-Qairawani.
"Sebelum melanjutkan perjalanan," kata Dzun Nun al Mishri.
"Izinkan saya meminta nasihat pamungkas dari engkau, wahai guruku."
"Baiklah," jawab imam Syuqran al-Qairawani
"Ketahuilah bahwa orang yang zuhud terhadap dunia itu adalah orang yang makanannya adalah apa yang ditemukan. Ia bertempat tinggal dimana saja ia berada. Pakaiannya adalah semua yang menutupi auratnya. Sementara itu, tempat ia duduk adalah khalwat."
Imam Syuqran al-Qairawani menarik nafas panjang lalu melanjutkan nasihatnya.
"Orang yang zuhud ucapannya adalah Al-Qur'an dan berkawan akrab dengan Allah subhanahu wa ta'ala. Ia memiliki teman satu perjalanan berupa dzikir kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Dan kau tahu pendampingnya adalah hidup sederhana."
Baca juga: Ibnu Atha'illah as-Sakandari: Orang 'Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah
Imam Syuqran al-Qairawani berhenti sejenak, lalu bertanya.
"Kau bosan mendengar nasihatku?" tanya imam Syuqran al-Qairawani kepada Dzun Nun al Mishri.
"Sungguh tidak ada kebosanan dalam menuntut ilmu, wahai guru." jawab Dzun Nun al Mishri.
"Syukurlah aku akan melanjutkan." kata iman Syuqran al-Qairawani.
"Kesukaan orang yang zuhud adalah diam. Ia memiliki tujuan berupa rasa takut. Sedangkan kendaraannya adalah rindu. Ambisi yang dimilikinya adalah nasihat. Orang zuhud pemikirannya adalah mengambil pelajaran. Sementara bantalnya adalah kesabaran. Ia menggunakan alas tidur berupa debu tanah. Dan, teman-temannya adalah orang yang sesuai antara perkataan dan perbuatannya. Sungguh tutur kata orang zuhud itu adalah hikmah. Sementara dalilnya adalah akal. Ia memiliki sahabat sejati berupa kesabaran untuk tidak marah. Sedangkan, nafkah untuknya adalah tawakal. Kalau makan orang zuhud berlauk lapar. Dan, engkau tahu, penolongnya hanyalah Allah subhanahu wa ta'ala."
Setelah imam Syuqran al-Qairawani berhenti menasehati, Dzun Nun al Mishri mencerna semua nasihat sang guru. Kemudian, ia berhenti sejenak. Ia memasukkan nasihat agung dari imam Syuqran al-Qairawani ke dalam hatinya. Nasihat itu akan dijadikan pegangan hidup sebagai seorang zuhud.
Baca juga: Nuansa Tasawuf Sosial dalam Pemikiran Abu Thalib al-Makki
Kemudian, Dzun Nun al Mishri bertanya kepada imam Syuqran al-Qairawani tentang perjalanan hidup seorang zuhud.
"Jalan apa yang harus ditempuh agar seorang hamba menggapai derajat tersebut, wahai guru?"
"Mudah." jawab imam Syuqran al-Qairawani. "Intropeksi dan senantiasa berdiskusi dengan dirimu sendiri."
Itulah nasehat pamungkas imam Syuqran al-Qairawani kepada Dzun Nun al Mishri muridnya. Sesungguhnya, masih banyak nasehat lain yang disampaikan kepada Dzun Nun al Mishri. Salah satu nasihat yang terpenting digambarkan sebagai berikut ini.
"Siapa yang bertawakal, ia akan merasa kaya." kata imam Syuqran al-Qairawani.
"Siapa yang meninggalkan tawakal, dia akan kelelahan. Siapa yang bersyukur dia akan dicukupi. Siapa yang ridha, dia akan diselamatkan."
Akhirnya, Dzun Nun al Mishri melanjutkan perjalanan mencari ilmu. Beberapa tahun kemudian, ia pulang dan menetap di sebuah desa. Di desa itu, banyak orang mendatangi majelis ilmunya. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh sufi besar dalam sejarah kesufian.
Referensi:
Abdullah, Ali. 2018.Kisah Hikmah Para Sufi dan Ulama Salaf. Yogyakarta: Qudsi Media.
Baca juga: Gelandang Sudut Kota