• Jelajahi

    Copyright © Laku Suluk
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Teologi Disabilitas: Diskriminasi Terhadap Penyandang Difabel

    Syukur Riyadin
    Selasa, 07 September 2021, 22.14 WIB Last Updated 2021-09-08T11:37:09Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini


    لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ

    Sesungguhnya Kami telah

    menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.(QS At-Tin Ayat 4)


    Dalam perjalanan seorang penyandang disabilitas atau difabel bertemu dengan salah seorang penumpang didalam trasportasi umum. Ada seorang penumpang yang sangat ramah melihat dengan mata yang kagum berkata, “Mas saya itu kagum dengan anda, bisa sekolah, kerja, berumah tangga dan sukses. Saya saja yang sempurna mas, itu tidak bisa.” Dengan lembutya beliau menjawab “Berarti saya tidak sempurna mas ?” sontak jantung berhenti berdetak, nafas tertahan dan bingung dengan lontaran pertanyaan tersebut.


    Kaum difabel sering kali menjadi sorotan masyarakat sebagai golongan minoritas yang seringkali dikucilkan atau diasingkan dan juga tidak mendapatkan perhatian penuh dari masyarakatnya sendiri. Hal ini tentu tidak sejalan dengan ajaran agama islam.


    Bukankah Gusti Allah merupakan dzat yang maha sempurna ? Apakah sang maha sempurna menciptakan yang tidak sempurna ? Mari kita renungkan sejenak bukankah allah sesungguhnya telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kita dilahirkan ke dunia dalam wujud yang dikehendaki-Nya, kesempurnaan itu Allah ciptakan dengan bermacam-macam bentuk dan tidak akan pernah keliru.


    Menurut kalian definisi sempurna itu apa ? Apakah mereka-mereka yang memilik raga yang kuat, sehat atau tidak cacat. Bagi penulis kesempurnaan adalah jiwa-jiwa yang beriman serta beramal sholeh (ihsan). Mereka penyandang disabilitas sangat resah apabila kita menanyakan hal di atas. Mungkin maksud kalian baik, namun dengan nalar logika kita seolah menghina tanpa sadar menjelekan ciptaan Allah SWT.


    Semua manusia diciptakan dengan sempurna tidak ada satupun makhluk yang diciptakan dengan tidak sempurna. Hati-hati, ini sangat penting diingat dan menjadi pedoman karena terkait soal akidah. Jangan pernah merasa diri kita tidak sempurna bahkan buruk dari orang lain, waspadalah yang dikhawatirkan diri kita melakukan suatu hal yang dibenci allah yaitu syirik khafi, maka perlu langkah untuk menata keyakinan atau iman pada diri kita kembali.


    Al-Qur’an yang menjadi rujukan umat muslim telah memberikan perhatian penuh terhadap kaum difabel, Al-Qur’an sendiri mengembangkan sikap positif terhadap kaum difabel. Sebagai bukti, Al-Qur’an memberikan akomodasi khusus sehingga mereka dapat beribadah seperti yang lainnya. Secara bersamaan hal ini mengimplikasikan bahwa Al-Qur’an mempertimbangkan kemampuan dan kondisi seseorang. Seorang muslim yang mengalami difabilitas tidak dihukum karena kondisinya. Konsep ini terlihat jelas misalnya dalam ibadah salat. Pelaksanaan salat dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan seorang difabel. Hal ini tergambar dalam ayat berikut ini:


    {الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ..}


    "Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali Imran [3]: 191)


    Akomodasi khusus (rukhsah) terhadap difabel juga tergambar dari ayat berikut:


    {لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَج..}


    “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit…(Q.S. an-Nūr [24]: 61)


    Ayat ini secara eksplisit menegaskan kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan mereka yang bukan penyandang disabilitas. Mereka harus diperlakukan secara sama dan diterima secara tulus tanpa diskriminasi dalam kehidupan social, sebagaimana penjelasan Syekh Ali As-Shabuni dalam Tafsir Ayatul Ahkam, :


    يَقُولُ الله جَلَّ ذِكْرُهُ مَا مَعْنَاهُ: لَيْسَ عَلَى أَهْلِ الْأَعْذَارِ وَلَا عَلَى ذَوِي الْعَاهَاتِ (الْأَعْمَى وَالْأَعْرَجِ وَالْمَرِيضِ) حَرَجٌ أَنْ يَأْكُلُوا مَعَ الْأَصِحَّاءِ، فَإِنَّ الله تَعَالَى يَكْرَهُ الكِبْرَ وَالْمُتَكَبِّرِينَ وَيُحِبُّ مِنْ عِبَادِهِ التَّوَاضُعَ. [8]


    Artinya, “Substansi firman Allah Ta’ala (Surat An-Nur ayat 61) adalah bahwa tidak ada dosa bagi orang-orang yang punya uzur dan keterbatasan (tunanetra, pincang, sakit) untuk makan bersama orang-orang yang sehat (normal), sebab Allah Ta’ala membenci kesombongan dan orang-orang sombong dan menyukai kerendahhatian dari para hamba-Nya.”


    Bahkan dari penafsiran ini menjadi jelas bahwa Islam mengecam sikap dan tindakan diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas. Terlebih diskriminasi yang berdasarkan kesombongan dan jauh dari akhlaqul karimah.


    Baca juga : Penyakit Hati Lebih Berbahaya Dari Virus Corona: Apakah ada Vaksinasinya ?

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    NamaLabel

    +