Di awal tulisan ini, marilah kita coba memikirkan tentang kelapa dan kurma yang sebenarnya masih sama-sama keluarga Palmae (palem). Jika kita hanya menyajikan dua jenis dari keturunan palmae tersebut, pasti kita akan berfikir manakah yang lebih baik? Hampir sebagian orang Islam akan menilai kurmalah yang lebih baik, karena Nabi Muhammad Saw. dulu memakan buah tersebut.
Namun, cobalah kita lupakan perbandingan keduanya sejenak dan menyajikan saudara-saudara keduanya yang lain. Sagu, enau/aren, gebang, rotan, salak, kelapa sawit, lontar, nipah, dan mungkin masih banyak saudara lainnya. Masing-masing keturunan palmae tersebut berasal dari satu moyang yang masing-masing beradaptasi dengan kondisi geografisnya.
Seperti yang
pernah diungkapkan oleh Prof. Ismail Fajri Alatas (Dosen New York University
dalam kuliah umumnya di Yogyakarta, demikianlah analogi Islam dewasa ini. Islam
zaman Nabi Saw. ibarat moyang palmae yang sudah sulit-untuk mengatakan
tidak-dapat ditemui di belahan bumi manapun. Zaman sekarang yang ada adalah
turunan dari Islam yang terus menerus bergulir dari zaman ke zaman.
Bolehkah ada
golongan Islam yang mengaku bahwa golongannya lah yang merupakan moyang dari
Islam itu sendiri? Namun kiranya tidak, masing-masing golongan Islam tersebut
telah beradaptasi terhadap lingkungannya (suku, budaya, dan adat istiadat)
dengan tetap memegang prinsip Islam. Lantas bagaimana kita sebagai generasi
belakangan menyikapi perbedaan diantara golongan tersebut?
Dalam
Al-Qur’an sendiri, Allah Swt. telah mendeklarasikan perbedaan di antara umat
manusia sebagai berikut:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا
يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ (118) إِلا مَنْ
رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأمْلأنَّ
جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (119)
“Andai
Tuhanmu menghendaki, Ia akan menjadikan manusia satu umat. (namun) Mereka
senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu, dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.” (QS. Hud: 118-119)
Dari ayat di
atas, jelaslah perbedaan merupakan sunnatullah (ketetapan dari Allah
Swt.) yang wajib kita imani. Walaupun sebenarnya mampu saja Allah Swt.
menciptakan manusia menjadi umat yang satu (seragam). Dalam keadaan perbedaan
tersebut, banyak orang yang pada akhirnya berselisih pendapat. Seperti yang
sering terjadi akhir-akhir ini, disadari atau tidak sungguh tampak perselisihan
tersebut yang semakin meruncing.
Masing-masing
dari mereka mengklaim bahwa golongannyalah yang paling benar dan menuduh kafir
kepada yang lain. Bahkan berawal dari tuduhan tersebutlah yang menjadi motif
melakukan aksi kekerasan dan bom bunuh diri. Padahal, Allah Swt. sendiri
mengajarkan kepada semua manusia untuk saling mengenal. Demikianlah ayatnya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا ۚ
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai
manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Namun, sebenarnya tidak kali ini saja perbedaan
pendapat tersebut terjadi, bahkan sejak Nabi Muhammad Saw. masih hidup pun
telah ada. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar,
bahwa Rasulullah Saw. bersabda pada peristiwa Ahzab: “Janganlah ada satupun
yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”
Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di
tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka, “Kita tidak shalat sampai
tiba di sana.” Yang lain mengatakan, “bahkan kita shalat saat ini juga.
Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan
kepada Rasulullah Saw. namun beliau tidak mencela salah satunya.”
Dari kisah inilah seharusnya umat Islam mengambil
teladan dari Rasulullah Saw. dalam menyikapi perbedaan pendapat. Potensi
mencela ketika menghadapi perbedaan pun telah beliau cegah sedini mungkin agar
masing-masing saling menghargai. Dengan begitu, orang-orang akan saling menguatkan
dalam memegang agama Allah Swt. Dalam beberapa firman-Nya Allah Swt. pun
melarang umat Islam untuk saling bercerai berai:
وَٱعْتَصِمُوا۟
بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟
“Dan berpeganglah kalian semua kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (QS. Ali Imran:103)
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا
فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
“Dan
taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian saling
berselisih, maka kalian menjadi gentar dan lenyap kekuatan kalian.” (QS. Al-Anfal: 46)
أَنْ
أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ......
“...Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu terpecah-belah di dalamnya...” (Asy-Syu’ara: 13)
Dari beberapa ayat di atas, jelaslah
kita dilarang untuk bercerai-berai, terpecah belah, dan berselisih dalam
menghadapi perbedaan. Lebih bijak dan ariflah dalam menilai golongan lain,
karena sebenarnya kita semua adalah turunan dari Islam yang telah menyejarah.
Seperti palmae yang entah sekarang dapat dijumpai dimana, namun bermacam
turunannya masih dapat terus kita jumpai.
Dalam Hadits Nabi Saw. pun beliau
bersabda, “Kalian tidak akan bisa masuk surga kecuali jika kalian beriman,
dan kalian tidak bisa dikatakan beriman sebelum kalian saling mencintai.” (HR. Muslim)
Dalam perbedaan apapun, sebenarnya
kita tetap dapat saling mencintai karena Allah Swt. Semua yang terhampar di
muka bumi inilah ciptaannya, dan karena itulah kita mencintai. Kita pun sudah
seharusnya mengambil semua pelajaran atas apa yang nampak di hadapan kita
ataupun tidak. Dengan begitulah semoga keimanan kita semakin bertambah kepada
sang Pencipta.
Wallahu a’lam...
Penulis: Muhammad Mufid